One Step Above The Sky

  Dunia memang tak selalu seperti apa yang diharapkan tapi kenyataanlah yang harus dijalani. Pun dengan hidupku, tak seorang pun menginginkan hidup yang terlahir dari keluarga yang tak berada. namun nyatanya aku harus terlahir di keadaan yang tak kuinginkan. Benar, aku tak menginginkan kehidupan yang susah dan cenderung papah. Hidup yang penuh keterbatasan mambawaku pada sebuah lorong gelap nan sempit hingga membuatku susah. Di lorong itu jangankan membuatku untuk bergerak, bernafas pun nyatanya sulit. Kenyataan terkadang memang berujung pada kesengsaraan.
  Dari segala keterbatasan yang aku punya, pada akhirnya membawaku pada dunia mimpi yang penuh dengan asa yang tak nyata. Mimpi-mimpi yang kubangun dengan pondasi-pondasi yang syarat pada penderitaan itu nyatanya terterpa oleh angin cacian dan hinaan yang berujung pada kekufuran. Hinaan dan cacian itu layaknya lauk pauk bagiku yang harus ditelan sepahit dan seburuk apapun rasanya.
  Suatu hari aku mencoba menggantungkan mimpiku LAGI pada tiang langit. Kugantungkan tak terlalu tinggi namun penuh harapan. Berharap bahwa hidupku lebih baik bahkan jauh lebih baik dari apa yang kuhadapi sekarang. Namun lagi-lagi, angin kejam menjatuhkan mimpiku tanpa ampun. Koyak. Hancur lebur. Tak tersisa dibawanya entah ke mana. Kucoba bertanya pada kupu-kupu nan elok yang melintas di jalanku. Dengan penuh sejuta harapan aku bertanya:
  “Ke mana gerangan angin membawa mimpiku?”
  Tak ada jawaban. Kupu-kupu itu tersenyum lalu pergi hanya menyisakan bekas luka di sudut hatiku. Sakit. Perih sekali. Seolah tiada yang menyakitkan selain berharap pada sesuatu yang penuh kesia-siaan. Tapi aku harus tetap melangkah walaupun tujuan belum pasti, tapi setidaknya aku harus mencari mimpi yang dibawa angin. Aku tidak akan menyerah hingga kutemukan mimpi itu lagi.
  Mungkin benar jika aku terus memberanikan diri merangkai kembali mimpi-mimpi aku akan tambah kecewa jika mimpi itu tak kunjung nyata. Tapi, bukankah ibuku mengatakan jika aku masih mempunyai perisai yang ia titipkan pada Tuhan. alangkah sia-sianya mimpi yang sudah ku tulis dengan susah payah terkubur begitu saja bersama dengan kecewaku yang tak kunjung pudar. Tidak! aku akan melanjutkan mimpiku, merangkainya kembali dan akan kugantungkan di tiang langit yang tinggi bahkan lebih tinggi dari mimpi seseorang yang pernah kusebut sebagai my everything.
  Aku masih berjalan membawaku serta mimpiku. Walaupun tak ku ketahui ujung jalan yang kupilih ini. tapi aku masih percaya bahwa di sana. Di ujung jalan yang kutunjuk ini pasti akan berujung pada sebuah telaga yang jernih yang akan menghilangkan dahaga, tempat membasuh luka darah yang nganga.
  Di suatu hari yang terik penuh dengan bau keringat yang menyengat. Aku duduk di bawah pohon sebagai tempat persinggahan akan perjalanan kehidupan yang telah kutelusuri. Seseorang memberikanku angin segar pelepas penat. Ia memberikanku petunjuk kalau di ujung jalan yang kupilih ini terdapat sebuah jembatan yang menuju telaga. Yah, telaga yang kubayangkan itu nyatanya benar-benar ada. Ia menyuruhku untuk berlari dengan kencang agar aku cepat sampai pada jembatan itu. Seseorang itu mengatakan bahwa jembatan ini tidak akan memberimu kesempatan kedua, sekali aku menyiakan kesempatan ini maka lakukanlah terbaik.
  Bergegas aku menuju jembatan yang tak memiliki kesempatan ke dua, jembatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang tak mudah menyerah apalagi putus asa. Dan aku sudah benar-benar berada di bibir jembatan ini. dengan cekatan aku melangkah, dengan hati-hati agar aku tak salah langkah. Aku tidak mau melangkahkan kakiku dengan sia-sia. Kesempatan untuk melewati jembatan ini tak akan kudapatkan dua kali.
  Jembatan menuju telaga ini sangatlah panjang dan berkabut. Mataku tak bisa melihat dengan jelas apa yang akan terjadi. Jadi, yang aku lakukan hanya melangkah dengan hati-hati. Hati-hati sekali. Nyatanya jembatan ini juga tak semulus yang kubayangkan. Kenapa banyak sekali rintangan yang kuhadapi setiap kali aku memilih jalan. Di jembatan ini terkadang aku tejatuh hingga lutut ku berdarah, terkadang jembatan ini terasa ada gundukan-gundukan hingga memaksaku mendaki, terkadang juga aku dipertemukan pada lorong-lorong gelap yang semakin membuat penglihatan gelap. Terkadang kakiku tergelincir hingga hampir saja aku jatuh ke jurang yang sangat dalam hingga aku yakin saat seseorang jatuh ke dalam jurang itu ia tak akan bisa bangkit lagi.
  Bertahun-tahun aku melawati jembatan ini yang telah mengajarkanku banyak pelajaran. Ilmuku untuk melawan dunia pun semakin hari semakin bertambah saja. Sesekali ilmu yang sudah kupelajari dari pengalamanku ini kubagikan pada orang-orang yang memang membutuhkan petunjuk. Aku yakin meskipun tak banyak setidaknya ilmu itu bisa mereka manfaatkan untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Oh kapankah pejalanan ini berujung. Bolehkah aku mengatakan bawa aku sangat lelah..?
  Tiba-tiba suatu hari ketika aku terjaga dari tidurku yang lelap. Melihat seberkas cahaya jingga di timur sana. Cahaya itu perlahan namun pasti menerangi sedikit demi sedikit menuntun langkahku menuju telaga kehidupan. Tempatku membasuh luka dan duka lelahnya menggantung impian yang tak kunjung datang.
  Dan pada akhirnya aku bisa menghirup betapa manisnya air telaga kehidupan yang kuperjuangkan untuk mendapatkannya. Banyak hal sudah kulewati, kegagalan atas mimpi-mimpi yang kugantungkan, pengkhianatan yang berujung kekecewaan dan kepahitan dan kesengasaraan karena keterbatasan.
Hari ini, mulai kugantungkan kembali harapan dan mimpiku yang dulu hancur menjadi serpihan. Mimpi itu telah usai kususun kembali layaknya bermain puzzle tanpa petunjuk. Perisai yang dititipkan oleh ibu pada Tuhan telah ia berikan padaku hari ini. dengan perisai itu pula aku bisa menggantungkan mimpiku lebih tinggi dari tiang langit bahkan satu langkah lebih tinggi di atas langit. Kesusahan yang pernah kurasakan terbayar ketika aku melihat ibu dan adikku tersenyum senang ketika toga tanda kelulusanku melewati rintangan apapun demi menggantungkan mimpi itu.
  Empat tahun sudah aku melewati jalan-jalan penuh pengkhianatan. Ajaran ibuku melekat bahwa untuk melihat betapa indahnya pemandangan di atas gunung setidaknya aku harus mendaki terlebih dahulu. Tak ada cara instan menikmati telaga kehidupan yang ada hanya hanya jalan-jalan sulit yang setiap saat bisa membanting tubuhku kapan pun ia mau. Memanfaatkan kesempatan ketika ia datang, tidak berleha-leha karena kesempatan itu hilang kapan saja tanpa memberikan waktu untuk kedua kalinya.
  Aku memang telah berhasil menggantungkan impianku satu langkah lebih tinggi di atas langit. Tapi tantangan dan rintangan yang sudah kembali menunggu ketika aku membuka gerbang level selanjutnya. Tapi satu hal yang telah melekat pada diriku bahwa tak akan ada artinya ketika aku terlalu berharap pada manusia, yang ada hanya luka nganga yang terperih karena kecewa, cukup pada Tuhan dan hanya pada Tuhan. Tuhan telah menciptakan banyak pilihan jalan untuk dilewati, dan penunjuk jalan itu ada di sini, di hati yang akan memilih jalan mana nantinya akan kupijaki. Hidup itu pilihan dan pada akhirnya memang harus memilih. Memilih untuk tetap bermimpi atau tidak jawabannya ada di sini, di hati.

Komentar